Rabu, 16 Maret 2011

TETESAN DARAH

Di kota Rembang, tinggal seorang pelukis bernama Sarwono.  Ia hidup hanya berdua dengan Ito, anaknya.  Istrinya sudah lama meninggal.  Untuk biaya hidup sehari-hari Pak Sarwono berjualan lukisan hasil karyanya. Hari itu seperti biasa tangan Pak Sarwono memegang kuas dan melukis.  Namun kali ini sebentar-sebentar terdengar Pak Sarwono menarik napas panjang.  Sepertinya ia sedang mengalami kesulitan.  Mata Pak Sarwono memandang keluar rumah.  “Mmmmhhh... kemana saja anakku si Ito ini ya?” tanyanya dalam hati.  Memang sejak siang Ito belum pulang ke rumah.  Entah kemana.  Ito tak pernah pamit bila hendak pergi.
Pak Sarwono kembali melanjutkan lukisannya.  Namun kali ini ia menemui kesulitan dalam menggambar tetesan darah yang mengalir dari kepala Yesus yang bermahkota duri.  Tiba-tiba,... brakkkk!!!  Pintu rumahnya dibuka dengan keras dan kasar.  Ternyata Ito, anaknya.  “Aku minta uang, Pak!” teriak Ito.  “Untuk apa?  Bukankah tadi pagi Bapak baru memberimu uang?”  “Untuk mentraktir teman-temanku.  Aku malu setiap kali dibelikan oleh mereka.  Sedangkan aku, belum pernah sekalipun membelikan mereka.  Aku malu Pak....”  “Bapak sekarang tidak punya uang, To.” “Aku nggak mau tau!  Pokoknya sekarang aku minta uang!  Sekarang!!!”  Pak Sarwono terdiam mendengar teriakan Ito sambl matanya memandang ke lukisannya yang belum selesai.  Ito menjadi semakin marah melihat Bapaknya cuma diam saja.  Ia membuang dan melempar apa saja yang ada di dekatnya.  Sampai akhirnya... sekaleng cat terlempar tepat mengenai kepala Pak Sarwono.  “Aduh,” teriak Pak Sarwono kesakitan.  Darah bercucuran deras dari kepalanya.  “Oh, lihat lukisanku, betapa indahnya percikan darahku menghiasi lukisan itu...,” erang Pak Sarwono. Setelah itu Pak Sarwono jatuh.  Bukan main terkejutnya Ito melihat keadaan ayahnya.
Dengan pertolongan para tetangga, Pak Sarwono dibawa ke rumah sakit.  Namun sayang, nyawanya tak dapat diselamatkan.  Ia meninggal dunia.  Bagaimana dengan si Ito?  Ia terpaksa mendekam di penjara anak-anak nakal.
Hari itu Ito sedang memandangi lukisan ayahnya yang terakhir, gambar kepala Tuhan Yesus bermahkotakan duri diwarnai dengan percikan darah ayahnya.  Ia berjanji tak akan menjual lukisan itu, berapa pun harganya.  Lukisan itu membuat Ito menyadari kesalahannya.  Ia menangis dan meminta ampun kepada Tuhan.
Akhirnya hukuman selesai dijalani Ito.  Sekarang, ia sudah menikmati hidup bebas di rumah pamannya.  Lukisan ayahnya tak lupa dibawanya serta.  Lukisan itu telah membawa Ito kembali kepada Tuhan.  Tetesan darah ayahnya yang menempel di lukisan itu sebagai tetesan darah Kristus telah membawa Ito kepada keselamatan. (Sumber: email)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar