Sabtu, 19 Maret 2011

Arti Kesetiaan


Para penumpang bus memandang penuh simpati ketika wanita muda berpenampilan
menarik dan bertongkat putih itu dengan hati-hati menaiki tangga. Dia
membayar sopir bus lalu, dengan tangan meraba-raba kursi, dia berjalan
menyusuri lorong sampai menemukan kursi yang tadi dikatakan kosong oleh si
sopir. Kemudian ia duduk, meletakkan tasnya dipangkuannya dan menyandarkan
tongkatnya pada tungkainya.
Setahun sudah lewat sejak Susan, tiga puluh empat, menjadi buta. Gara-gara
salah diagnosa dia kehilangan penglihatannya dan terlempar ke dunia yang
gelap gulita, penuh amarah, frustasi, dan rasa kasihan pada diri sendiri.
Sebagai wanita yang sangat independen, Susan merasa terkutuk oleh nasib
mengerikan yang membuatnya kehilangan kemampuan, merasa tak berdaya, dan
menjadi beban bagi semua orang di sekelilingnya. "Bagaimana mungkin ini
bisa terjadi padaku ?" dia bertanya-tanya, hatinya mengeras karena marah.
Tetapi, betapa pun seringnya ia menangis atau menggerutu atau berdoa, dia
mengerti kenyataan yang menyakitkan itu-penglihatannya takkan pernah pulih
lagi.
Depresi mematahkan semangat Susan yang tadinya selalu optimis. Mengisi waktu
seharian kini merupakan perjuangan berat yang menguras tenaga dan membuatnya
frustasi. Dia menjadi sangat bergantung pada Mark, suaminya. Mark seorang
perwira Angkatan Udara. Dia mencintai Susan dengan tulus.
Ketika istrinya baru kehilangan penglihatannya, dia melihat bagaimana Susan
tenggelam dalam keputus asaan. Mark bertekat untuk membantunya menemukan
kembali kekuatan dan rasa percaya diri yang dibutuhkan Susan untuk menjadi
mandiri lagi. Latar belakang militer Mark membuatnya terlatih untuk
menghadapi berbagai situasi darurat, tetapi dia tahu, ini adalah pertempuran
yang paling sulit yang pernah dihadapinya. Akhirnya, Susan merasa siap
bekerja lagi. Tetapi, bagaimana dia akan bisa sampai ke kantornya? Dulu
Susan biasa naik bus, tetapi sekarang terlalu takut untuk pergi ke kota
sendirian.
Mark menawarkan untuk mengantarkannya setiap hari, meskipun tempat kerja
mereka terletak di pinggir kota yang berseberangan. Mula-mula, kesepakatan
itu membuat Susan nyaman dan Mark puas karena bisa melindungi istrinya yang
buta, yang tidak yakin akan bisa melakukan hal-hal paling sederhana
sekalipun. Tetapi, Mark segera menyadari bahwa pengaturan itu keliru-membuat
mereka terburu-buru, dan terlalu mahal. Susan harus belajar naik bus lagi,
Mark menyimpulkan dalam hati. Tetapi, baru berpikir untuk menyampaikan
rencana itu kepada Susan telah membuatnya merasa tidak enak. Susan masih
sangat rapuh, masih sangat mudah marah.
Bagaimana reaksinya nanti? Persis seperti dugaan Mark, Susan ngeri mendengar
gagasan untuk naik bus lagi.
"Aku buta !" tukasnya dengan pahit.
"Bagaimana aku bisa tahu kemana aku pergi? Aku merasa kau akan
meninggalkanku" Mark sedih mendengar kata-kata itu, tetapi ia tahu apa yang
harus dilakukan. Dia berjanji bahwa setiap pagi dan sore, ia akan naik bus
bersama Susan,selama masih diperlukan,sampai Susan hafal dan bisa pergi
sendiri.
Dan itulah yang terjadi. Selama dua minggu penuh Mark, menggunakan seragam
militer lengkap, mengawal Susan ke dan dari tempat kerja, setiap hari.
Dia mengajari Susan bagaimana menggantungkan diri pada indranya yang lain,
terutama pendengarannya, untuk menemukan dimana ia berada dan bagaimana
beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Dia menolong Susan berkenalan dan
berkawan dengan sopir-sopir bus dan menyisakan satu kursi kosong untuknya.
Dia membuat Susan tertawa, bahkan pada hari-hari yang tidak terlalu
menyenangkan ketika Susan tersandung waktu turun dari bus, atau menjatuhkan
tasnya yang penuh berkas di lorong bus. Setiap pagi mereka berangkat
bersama-sama, setelah itu Mark akan naik taksi ke kantornya.
Meskipun pengaturan itu lebih mahal dan melelahkan daripada yang pertama,
Mark yakin bahwa hanya soal waktu sebelum Susan mampu naik bus tanpa
dikawal. Mark percaya kepadanya, percaya kepada Susan yang dulu dikenalnya
sebelum wanita itu kehilangan penglihatannya; wanita yang tidak pernah takut
menghadapi tantangan apapun dan tidak akan pernah menyerah.
Akhirnya, Susan memutuskan bahwa dia siap untuk melakukan perjalanan itu
seorang diri. Tibalah hari Senin. Sebelum berangkat, Susan memeluk Mark yang
pernah menjadi kawannya satu bus dan sahabatnya yang terbaik. Matanya
berkaca-kaca, penuh air mata syukur karena kesetiaan, kesabaran dan cinta
Mark. Dia mengucapkan selamat berpisah. Untuk pertama kalinya mereka pergi
ke arah yang berlawanan.
Senin, Selasa, Rabu, Kamis...Setiap hari dijalaninya dengan sempurna. Belum
pernah Susan merasa sepuas itu. Dia berhasil ! Dia mampu berangkat kerja
tanpa dikawal. Pada hari Jum'at pagi,seperti biasa Susan naik bus ke tempat
kerja. Ketika dia membayar ongkos bus sebelum turun, sopir bus itu berkata
: "Wah,aku iri padamu". Susan tidak yakin apakah sopir itu bicara kepadanya
atau tidak. Lagipula, siapa yang bisa iri pada seorang wanita buta yang
sepanjang tahun lalu berusaha menemukan keberanian untuk menjalani hidup?
Dengan penasaran, dia berkata kepada sopir itu, "Kenapa kau bilang kau iri
kepadaku?"
Sopir itu menjawab, "Kau pasti senang selalu dilindungi dan dijagai seperti
itu" Susan tidak mengerti apa maksud sopir itu. Sekali lagi dia bertanya,
"Apa maksudmu ?"
"Kau tahu, minggu kemarin, setiap pagi ada seorang pria tampan berseragam
militer berdiri di sudut jalan dan mengawasimu waktu kau turun dari bus. Dia
memastikan bahwa kau menyeberang dengan selamat dan dia mengawasimu terus
sampai kau masuk ke kantormu. Setelah itu dia meniupkan ciuman, memberi
hormat ala militer, lalu pergi. Kau wanita yang beruntung",kata sopir itu.
Air mata bahagia membasahi pipi Susan. Karena meskipun secara fisik
tidakdapat melihat Mark, dia selalu bisa memastikan kehadirannya. Dia
beruntung, sangat beruntung, karena Mark memberikannya hadiah yang jauh
lebih berharga daripada penglihatan, hadiah yang tak perlu dilihatnya dengan
matanya untuk menyakinkan diri-hadiah cinta yang bisa menjadi penerang
dimanapun ada kegelapan.dk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar