Selasa, 09 Oktober 2012

Belajar menguasai diri

“Jangan menolak didikan dari anakmu, ia tidak akan mati kalau engkau memukulnya dengan rotan. Engkau memukulnya dengan rotan, tetapi engkau menyelamatkan nyawanya dari dunia orang mati.” (Amsal 23:13,14)
Hidup ini memang cukup ruwet. Bahaya kecelakaan dan kekerasan, juga epidemi mengintai kita setiap saat seiring dengan kemajuan iptek. Dalam dunia maya, perang dagang antara negara superpower dan negara pasar internet terbesar di dunia yang letaknya di benua kita, berpotensi mengancam perdamaian jagat kita ini. Penggunaan sains dan teknologi lebih daripada pemanfaatan sumber daya manusia, bisa menjadi pemicu pudarnya sebuah keyakinan, konsistensi serta sifat penguasaan diri manusia.

Selingan berita perihal pasutri yang terlibat duel seru dengan rampok, pemuda pengangguran yang membawa senjata kreasinya sendiri di kota kelahiran saya, Senin 18 Januari, mungkin hanya bak segayung air dalam samudera nan maha luas; namun sungguh sangat memprihatinkan dan membuat keamanan menjadi tak lagi nyaman.
Bencana tak luput pula mengintai anak-anak kita, ketika semakin bertambah banyak wahana dan sarana canggih menumpuk dan bertebaran di dalam atau di luar rumah. Tiada satu rumah pun kini yang 100% bebas dari musibah. Seandainya memungkinkan, toh hal itu juga berdampak tak praktis. Anak itu akan bertumbuh dalam suasana kepura-puraan dan bukan dalam kenyataan hidup sehari-hari; ia tak mampu belajar mengurus diri sendiri, mengenal serta menghindari bahaya.
Disiplin merupakan alat yang terbaik untuk memecahkan segala permasalahan manusia yang kompleks dan rumit ini. Kamus Besar membahasakan disiplin sebagai: tata tertib; ketaatan pada peraturan; selain juga bidang studi yang memiliki obyek, sistem dan metode tertentu; yang sayangnya juga mulai luntur gereget kedisiplinannya.
Alkitab kita menyebutkan tentang self-control (engkrateia –Yun.), aspek ke 9 dari buah Roh yang satu itu (Galatia 5:23), sebagai: penguasaan diri. KJV+ mempergunakan kata temperance, dengan referensi pada hidup yang tak bermoral. Kisah Para Rasul 24:25, “Tetapi ketika Paulus berbicara tentang kebenaran, penguasaan diri, dan penghakiman yang akan datang, Feliks menjadi takut …”! Kenapa Feliks, wali negeri Yudea itu jadi cengeng?  Benar, karena kehidupan amoral-nya tembus pandang di hadapan Firman Tuhan.  Lihat Daniel 5:1-4; Feliks tak jauh beda dengan Belsyazar, raja terakhir imperium Babilonia, yang “.. didapati terlalu ringan;” –ayat 27.
Disiplin (baca: penguasaan diri) tidak akan berhasil, bila kita sudah kehilangan kepercayaan dari anak-anak kita, sesama kita, terlebih lagi dari Tuhan!(NVDK)

YANG terpenting adalah belajar menguasai diri sendiri. * Eckermann.

Doa: Tuhan ajarku untuk dapat menguasai diriku. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar