Senin, 15 September 2014

Percakapan di depan Salib

" Tuhan aku bertanya, kenapa engkau tidak lari saja ketika sedang berdoa di Zaitun. Bukankah saat itu para serdadu masih jauh. Bukankah pula di depanmu ada padang gurun luas di mana banyak residivis atau para penjahat zaman itu melarikan diri dan bersembunyi?

Kenapa pula tidak kau biarkan Petrus melanjutkan saja aksinya setelah memotong telinga Maltus? Tentu kau ingat bagaimana 5000 orang laki-laki - yang kau beri makan - tapi sebenarnya datang untuk memaksamu melakukan pemberontakan. Bukankah berjuang bersama orang-orang itu adalah pilihan yang lebih menguntungkan dari pada memecahkan roti dan membagi-bagikannya kepada mereka?
Tuhan Yesus aku tahu kamu hanya diam saja saat ini. Diam mu adalah jawabanmu. Matimu dengan cara demikian ini mengatakan banyak hal padaku. Aku jadinya tidak kuatir, apakah aku sedang bicara denganmu atau sedang bicara dengan diriku sendiri. Engkau sungguh-sungguh berbicara padaku dengan cara yang sama sekali lain, memandangku dalam diam-mu itu.


Pada palang hina itu, aku mengerti bahwa Engkau memilih memakukan tangan-tanganmu yang perkasa, meski engkau sebenarnya juga punya pilihan untuk mencengkeram prajurit-prajurit yang buas itu. Apalagi tanganmu selalu penuh kuasa. Bukankah dari tangan yang sama telah lahir kuasa penyembuhan bagi banyak orang?


Keinginanmu untuk lari kau pakukan bersama kaki-kaki kokoh yang terpaku.
Aku tahu perasaanmu saat itu: sakit, perih, pedih. Bukan hanya oleh luka-luka itu atau bukan karena hampir semua yang kau miliki dijarah; juga bukan hanya karena martabatmu diinjak-injak, tapi bahwa kua ditinggakan oleh sahabat-sahabatmu, dikhianati oleh orang-orang dekatmu. Aku tak heran jika kau merintih: " Ya Allah, mengapa Engkau tinggalkan Aku?" Itu puncak kesepian dan kesendirianmu, mewaliki derita, perih, pedih dan kesepian-kesepian kami.


Tapi kesepianmu lain dengan kesepian kami, deritamu lain dari derita kami. Kami tak tahan sepi, apalagi sendiri, hadap-hadapan dengan diri kami. Apalagi jika ada masalah dalam kerjaan atau relasi kami. Kami selalu ingin lari sejauh-jauhnya dari masalah kami, entah dengan handphone, dengan minuman dan hiburan-hiburan lainnya. Kami tidak rela dikhinianati, ditinggalkan dan ditolak. Uang, dan macam-macam sogokan lain rela kami pertaruhkan asal kami tidak lenyap dalam persaingan kerja, tidak dikucilkan dalam pergaulan.
Sepi dan sendirimu kau sempurnakan dengan iman yang teguh pada kasih Sang Bapa yang menunggu dan menyambutmu dengan pelukan kasihmu. "Ke dalam tanganmu kuserahkan hidupku". Dengan tangan yang terbuka dan terbentang bebas itu kau menyatakan penyerahan dirimu. Dengan kata-kata itu aku membayangkan Sang Bapa yang Berbelaskasih, yang kau ceritakan dalam perumpamaan anak yang hilang. Tanganmu yang terbentang itu melahirkan bayangkan akan tangan-tangan Bapa yang juga selalu akan menyambut kami, orang berdosa ini. Aku tahu kau tidak berdosa sedikitpun, tapi kau yang pertama membuka jalan bagi kami untuk percaya akan kasih sang Bapa yang tanpa syarat.


Tuhan aku hanya minta agar aku hidup sepertimu, dalam keadaan apa saja, selalu dengan tangan terbuka dan hati yang lapang menerima rencana Allah dalam diriku; menerima dan memahami laku dan sikap setiap orang dan tentu saja menghadapi kesulitan-kesulitan dalam tugas atau pekerjaanku. Semoga dengan senyum, tutur kata, kerja tangan, dan semua yang kukerjakan aku menjadi perpanjangan tanganmu untuk merangkul sebanyak mungkin orang bagimu. Tuhan tidak ada jawaban yang lebih indah dari salib suci nan mulia dan Engkau yang bergantung padanya.


GBU ALL...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar