" Tuhan aku bertanya, kenapa engkau tidak lari saja ketika sedang berdoa
di Zaitun. Bukankah saat itu para serdadu masih jauh. Bukankah pula di
depanmu ada padang gurun luas di mana banyak residivis atau para
penjahat zaman itu melarikan diri dan bersembunyi?
Kenapa pula tidak
kau biarkan Petrus melanjutkan saja aksinya setelah memotong telinga
Maltus? Tentu kau ingat bagaimana 5000 orang laki-laki - yang kau beri
makan - tapi sebenarnya datang untuk memaksamu melakukan pemberontakan.
Bukankah berjuang bersama orang-orang itu adalah pilihan yang lebih
menguntungkan dari pada memecahkan roti dan membagi-bagikannya kepada
mereka?
Tuhan Yesus aku tahu kamu hanya diam saja saat ini. Diam mu
adalah jawabanmu. Matimu dengan cara demikian ini mengatakan banyak hal
padaku. Aku jadinya tidak kuatir, apakah aku sedang bicara denganmu atau
sedang bicara dengan diriku sendiri. Engkau sungguh-sungguh berbicara
padaku dengan cara yang sama sekali lain, memandangku dalam diam-mu itu.
Pada
palang hina itu, aku mengerti bahwa Engkau memilih memakukan
tangan-tanganmu yang perkasa, meski engkau sebenarnya juga punya pilihan
untuk mencengkeram prajurit-prajurit yang buas itu. Apalagi tanganmu
selalu penuh kuasa. Bukankah dari tangan yang sama telah lahir kuasa
penyembuhan bagi banyak orang?
Keinginanmu untuk lari kau pakukan bersama kaki-kaki kokoh yang terpaku.
Aku
tahu perasaanmu saat itu: sakit, perih, pedih. Bukan hanya oleh
luka-luka itu atau bukan karena hampir semua yang kau miliki dijarah;
juga bukan hanya karena martabatmu diinjak-injak, tapi bahwa kua
ditinggakan oleh sahabat-sahabatmu, dikhianati oleh orang-orang dekatmu.
Aku tak heran jika kau merintih: " Ya Allah, mengapa Engkau tinggalkan
Aku?" Itu puncak kesepian dan kesendirianmu, mewaliki derita, perih,
pedih dan kesepian-kesepian kami.
Tapi kesepianmu lain dengan
kesepian kami, deritamu lain dari derita kami. Kami tak tahan sepi,
apalagi sendiri, hadap-hadapan dengan diri kami. Apalagi jika ada
masalah dalam kerjaan atau relasi kami. Kami selalu ingin lari
sejauh-jauhnya dari masalah kami, entah dengan handphone, dengan minuman
dan hiburan-hiburan lainnya. Kami tidak rela dikhinianati, ditinggalkan
dan ditolak. Uang, dan macam-macam sogokan lain rela kami pertaruhkan
asal kami tidak lenyap dalam persaingan kerja, tidak dikucilkan dalam
pergaulan.
Sepi dan sendirimu kau sempurnakan dengan iman yang teguh
pada kasih Sang Bapa yang menunggu dan menyambutmu dengan pelukan
kasihmu. "Ke dalam tanganmu kuserahkan hidupku". Dengan tangan yang
terbuka dan terbentang bebas itu kau menyatakan penyerahan dirimu.
Dengan kata-kata itu aku membayangkan Sang Bapa yang Berbelaskasih, yang
kau ceritakan dalam perumpamaan anak yang hilang. Tanganmu yang
terbentang itu melahirkan bayangkan akan tangan-tangan Bapa yang juga
selalu akan menyambut kami, orang berdosa ini. Aku tahu kau tidak
berdosa sedikitpun, tapi kau yang pertama membuka jalan bagi kami untuk
percaya akan kasih sang Bapa yang tanpa syarat.
Tuhan aku hanya minta
agar aku hidup sepertimu, dalam keadaan apa saja, selalu dengan tangan
terbuka dan hati yang lapang menerima rencana Allah dalam diriku;
menerima dan memahami laku dan sikap setiap orang dan tentu saja
menghadapi kesulitan-kesulitan dalam tugas atau pekerjaanku. Semoga
dengan senyum, tutur kata, kerja tangan, dan semua yang kukerjakan aku
menjadi perpanjangan tanganmu untuk merangkul sebanyak mungkin orang
bagimu. Tuhan tidak ada jawaban yang lebih indah dari salib suci nan
mulia dan Engkau yang bergantung padanya.
GBU ALL...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar