Ketika
saya pulang di sebuah senja, saya masih melihatnya duduk disana. Seorang
wanita empat puluhan duduk dalam kiosnya di tepi seruas jalan di kotaku
yang telah ribuan kali kulewati.
Puluhan
tahun yang lalu ketika usia saya masih belum genap sembilan tahun, kios
itu sudah ada disana. Menjajakan majalah, koran, dan sejumlah barang
kelontong. Ketika itu mobil kami berhenti di depan kiosnya dan wanita
itu datang menghampiri membawa apa yang biasanya kami inginkan, majalah
Ananda dan Bobo buat saya serta majalah Tempo dan Intisari untuk ayah.
Demikian terjadi sepekan sekali sepulang sekolah selama bertahun-tahun
hingga tiba saatnya saya beranjak remaja dan berganti selera baca, saya
tak lagi menemui wanita itu.
Sekonyong-konyong
di senja itu, tatapan mata saya ke luar angkot yang tengah membawa saya
pulang ke rumah, menyapu kios itu dan wanita yang sama di dalamnya.
Bedanya, kali ini ia tak lagi menjajakan koran dan majalah. Hanya rokok,
minuman cola, air mineral, dan sejumlah barang lain. Apakah itu semacam
kemunduran perniagaan, saya tak tahu persis. Yang tampak jelas bagi
sel-sel kelabu saya adalah kenyataan bahwa ia, untuk menafkahi hidupnya,
masih saja duduk di tempat yang sama, setelah lewat bertahun-tahun.
Suatu
sore lain dalam sebuah gerbong kereta yang saya tumpangi, saya menatap
puluhan gubuk dan rumah petak di sepanjang lintasan rel yang menuju
stasiun Senen. Benak saya digelayuti iba
dan juga pertanyaan. Sejumlah gerobak mie ayam melintas di jendela dengan cepat. Apa yang
begitu
menarik dari kota ini, begitu pertanyaan saya, sehingga mereka sanggup
bertahan dalam kepapaannya di tengah gemuruh Jakarta yang keras.
Apakah
itu nasib? Adakah nasib yang membuat Ibu penjaja koran yang tinggal di
Semarang dan mereka yang tinggal di kompleks kumuh Jakarta tetap
bertahan di sana?
Bagaimana bisa kita memahami nasib? Saya tak bisa. Tetapi keponakan saya yang berumur lima tahun punya petunjuknya.
Saat
itu saya sedang bermain berdua dengannya: Ular-Tangga. Setelah beberapa
lama bermain dan bosan mulai merambati benak, saya meraih surat kabar
dan mulai membaca-baca. Nanda, keponakan saya itu, kemudian berkata,
"Ayo jalan! Gililan Om. Kalo nggak jalan juga, Om bakal nggak naik-naik,
di situ telus, dan mainnya nggak selesai-selesai."
Saya tersadar. Ular-Tangga, permainan semasa kita kanak-kanak, adalah contoh yang bagus
tentang
permainan nasib manusia. Ada petak-petak yang harus dilewati. Ada
Tangga yang akan membawa kita naik ke petak yang lebih tinggi. Ada Ular
yang akan membuat kita turun ke petak di bawahnya.
Kita
hidup. Dan sedang bermain dengan banyak papan Ular-Tangga. Ada papan
yang bernama sekolah. Ada papan yang bernama karir. Suka atau tidak
dengan permainan yang sedang dijalaninya, setiap orang harus melangkah.
Atau ia terus saja ada di petak itu. Suka tak suka, setiap orang harus
mengocok dan melempar dadunya. Dan sebatas itulah ikhtiar manusia:
melempar
dadu (dan memprediksi hasilnya dengan teori peluang). Hasil akhirnya,
berapa jumlahan yang keluar, adalah mutlak kuasa Tuhan.
Apakah
Ular yang akan kita temui, ataukah Tangga, Allah lah yang mengatur.
Dan disitulah Nasib. Kuasa kita hanyalah sebatas melempar dadu.
Malangnya, ada juga manusia yang enggan melempar dadu dan menyangka
bahwa itulah nasibnya. Bahwa di situlah nasibnya, di petak itu.
Merekayang malang itu, terus saja ada di sana.
Menerima
keadaan sebagai Nasib, tanpa pernah melempar dadu. Mereka yang takut
melempar dadu, takkan pernah beranjak ke mana-mana. Mereka yang enggan
melempar dadu, takkan pernah menyelesaikan permainannya.
Setiap
kali menemui Ular, lemparkan dadumu kembali. Optimislah bahwa di antara
sekian lemparan, kau akan menemukan Tangga. Beda antara orang yg
optimis dan pesimis bila keduanya sama-sama gagal, Si Pesimis menemukan
kekecewaan dan Sang Optimis mendapatkan harapan.
Gbu all...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar