Ibu saya adalah seorang yang
sangat baik, sejak kecil, saya melihatnya dengan begitu gigih menjaga
keutuhan keluarga. Ia selalu bangun dini hari, memasak bubur yang panas
untuk ayah, karena lambung ayah tidak baik, pagi hari hanya bisa makan
bubur.
Setelah itu, masih harus memasak sepanci nasi untuk
anak-anak, karena anak-anak sedang dalam masa pertumbuhan, perlu makan
nasi, dengan begitu baru tidak akan lapar seharian di sekolah.
Setiap
sore, ibu selalu membungkukkan badan menyikat panci, setiap panci di
rumah kami bisa dijadikan cermin, tidak ada noda sedikit pun.
Menjelang
malam, dengan giat ibu membersihkan lantai, mengepel seinci demi
seinci, lantai di rumah tampak lebih bersih dibanding sisi tempat tidur
orang lain, tiada debu sedikit pun meski berjalan dengan kaki telanjang.
Ibu
saya adalah seorang wanita yang sangat rajin. Namun, di mata ayahku, ia
(ibu) bukan pasangan yang baik. Dalam proses pertumbuhan saya, tidak
hanya sekali saja ayah selalu menyatakan kesepiannya dalam perkawinan,
tidak memahaminya.
Ayah saya adalah seorang laki-laki yang
bertanggung jawab. Ia tidak merokok, tidak minum-minuman keras, serius
dalam pekerjaan, setiap hari berangkat kerja tepat waktu, bahkan saat
libur juga masih mengatur jadwal sekolah anak-anak, mengatur waktu
istrirahat anak-anak, ia adalah seorang
ayah yang penuh tanggung
jawab, mendorong anak-anak untuk berprestasi dalam pelajaran. Ia suka
main catur, suka larut dalam dunia buku-buku kuno.
Ayah saya
adalah seoang laki-laki yang baik, di mata anak-anak, ia maha besar
seperti langit, menjaga kami, melindungi kami dan mendidik kami. Hanya
saja, di mata ibuku, ia juga bukan seorang pasangan yang baik, dalam
proses pertumbuhan saya, kerap kali saya melihat ibu menangis terisak
secara diam-diam di sudut halaman.
Ayah menyatakannya dengan kata-kata, sedang ibu dengan aksi, menyatakan kepedihan yang dijalani dalam perkawinan.
Dalam
proses pertumbuhan, aku melihat juga mendengar ketidakberdayaan dalam
perkawinan ayah dan ibu, sekaligus merasakan betapa baiknya mereka, dan
mereka layak mendapatkan sebuah perkawinan yang baik. Sayangnya, dalam
masa-masa keberadaan ayah di dunia, kehidupan perkawinan mereka lalui
dalam kegagalan, sedangkan aku, juga tumbuh dalam kebingungan, dan aku
bertanya pada diriku sendiri : Dua orang yang baik mengapa tidak
diiringi dengan perkawinan yang bahagia?
Pengorbanan yang dianggap benar.
Setelah dewasa, saya akhirnya memasuki usia perkawinan, dan secara perlahan -lahan saya pun mengetahui akan jawaban ini.
Di
masa awal perkawinan, saya juga sama seperti ibu, berusaha menjaga
keutuhan keluarga, menyikat panci dan membersihkan lantai, dengan
sungguh-sungguh berusaha memelihara perkawinan sendiri. Anehnya, saya
tidak merasa bahagia ; dan suamiku sendiri, sepertinya juga tidak
bahagia. Saya
merenung, mungkin lantai kurang bersih, masakan tidak
enak, lalu, dengan giat saya membersihkan lantai lagi, dan memasak
dengan sepenuh hati. Namun, rasanya, kami berdua tetap saja tidak
bahagia.
Hingga suatu hari, ketika saya sedang sibuk membersihkan
lantai, suami saya berkata : "Istriku, temani aku sejenak mendengar
alunan musik!"
Dengan mimik tidak senang saya berkata : "Apa tidak melihat masih ada separoh lantai lagi yang belum dipel?"
Begitu
kata-kata ini terlontar, saya pun termenung, kata-kata yang sangat
tidak asing di telinga, dalam perkawinan ayah dan ibu saya, ibu juga
kerap berkata begitu sama ayah. Saya sedang mempertunjukkan kembali
perkawinan ayah dan ibu, sekaligus mengulang kembali ketidakbahagiaan
dalam perkwinan
mereka. Ada beberapa kesadaran muncul dalam hati saya.
Yang kamu inginkan?
Saya
hentikan sejenak pekerjaan saya, lalu memandang suamiku, dan teringat
akan ayah saya... Ia selalu tidak mendapatkan pasangan yang dia inginkan
dalam perkawinannya, Waktu ibu menyikat panci lebih lama daripada
menemaninya. Terus menerus mengerjakan urusan rumah tangga, adalah cara
ibu dalam mempertahankan perkawinan, ia memberi ayah sebuah rumah yang
bersih, namun, jarang menemaninya, sibuk mengurus rumah, ia berusaha
mencintai ayah dengan caranya, dan cara ini adalah mengerjakan urusan
rumah tangga.
Dan aku, aku juga menggunakan caraku berusaha
mencintai suamiku. Cara saya juga sama seperti ibu, perkawinan saya
sepertinya tengah melangkah ke dalam sebuah cerita, dua orang yang baik
mengapa tidak diiringi dengan perkawinan yang bahagia. Kesadaran saya
membuat saya membuat keputusan (pilihan) yang sama. Saya hentikan
sejenak pekerjaan saya, lalu duduk di sisi suami, menemaninya mendengar
musik, dan dari kejauhan, saat memandangi kain pel di atas lantai
seperti menatapi nasib ibu.
Saya bertanya pada suamiku : "Apa yang kau butuhkan?"
"Aku
membutuhkanmu untuk menemaniku mendengar musik, rumah kotor sedikit
tidak apa-apalah, nanti saya carikan pembantu untukmu, dengan begitu kau
bisa menemaniku," ujar suamiku.
"Saya kira kamu perlu rumah yang
bersih, ada yang memasak untukmu, ada yang mencuci pakianmu.... ," dan
saya mengatakan sekaligus serentetan hal-hal yang dibutuhkannya.
"Semua itu tidak pentinglah," ujar suamiku. "Yang paling kuharapkan adalah kau bisa lebih sering menemaniku."
Ternyata
sia-sia semua pekerjaan yang saya lakukan, hasilnya benar-benar membuat
saya terkejut. Kami meneruskan menikamti kebutuhan masing-masing, dan
baru saya sadari ternyata dia juga telah banyak melakukan pekerjaan yang
sia-sia, kami memiliki cara masing-masing bagaimana mencintai, namun,
bukannya cara pihak kedua.
Jalan kebahagiaan
Sejak
itu, saya menderetkan sebuah daftar kebutuhan suami, dan meletakkanya
di atas meja buku, Begitu juga dengan suamiku, dia juga menderetkan
sebuah daftar kebutuhanku. Puluhan kebutuhan yang panjang lebar dan
jelas, seperti misalnya, waktu senggang menemani pihak kedua mendengar
musik, saling memeluk kalau sempat, setiap pagi memberi sentuhan selamat
jalan bila berangkat.
Beberapa hal cukup mudah dilaksanakan,
tapi ada juga yang cukup sulit, misalnya, "Dengarkan aku, jangan memberi
komentar." Ini adalah kebutuhan suami. Kalau saya memberinya usul, dia
bilang akan merasa dirinya akan tampak seperti orang bodoh. Menurutku,
ini benar-benar masalah gengsi laki-laki.
Saya juga meniru suami
tidak memberikan usul, kecuali dia bertanya pada saya, kalau tidak saya
hanya boleh mendengar dengan serius, menurut sampai tuntas, demikian
juga ketika salah jalan. Bagi saya ini benar-benar sebuah jalan yang
sulit dipelajari, namun, jauh lebih santai daripada mengepel, dan dalam
kepuasan kebutuhan kami ini, perkawinan yang kami jalani juga kian hari
semakin penuh daya hidup.
Saat saya lelah, saya memilih beberapa
hal yang gampang dikerjakan, misalnya menyetel musik ringan, dan kalau
lagi segar bugar merancang perjalanan keluar kota. Menariknya, pergi ke
taman flora adalah hal bersama dan kebutuhan kami, setiap ada
pertikaian, selalu pergi ke taman flora, dan selalu bisa menghibur
gejolak hati masing-masing. Sebenarnya, kami saling mengenal dan
mencintai juga dikarenakan kesukaan kami pada taman flora, lalu bersama
kita menapak ke tirai merah perkawinan, kembali ke taman bisa kembali ke
dalam suasana hati yang saling mencintai bertahun-tahun silam.
Bertanya
pada pihak kedua : "Apa yang kau inginkan?" Kata-kata ini telah
menghidupkan sebuah jalan kebahagiaan lain dalam perkawinan. Keduanya
akhirnya melangkah ke jalan bahagia.
Kini, saya tahu kenapa
perkawinan ayah ibu tidak bisa bahagia, mereka terlalu bersikeras
menggunakan cara sendiri dalam mencintai pihak kedua, bukan mencintai
pasangannya dengan cara pihak kedua. Diri sendiri lelahnya setengah
mati, namun, pihak kedua tidak dapat merasakannya, akhirnya ketika
menghadapi penantian perkawinan, hati ini juga sudah kecewa dan hancur.
Karena
Tuhan telah menciptakan perkawinan, maka menurut saya, setiap orang
pantas dan layak memiliki sebuah perkawinan yang bahagia, asalkan cara
yang kita pakai itu tepat, menjadi orang yang dibutuhkan pihak kedua!
Bukannya memberi atas keinginan kita sendiri, perkawinan yang baik,
pasti dapat diharapkan.
Ditulis oleh Isak Rickyanto
Gbu all...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar