oleh: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div.
“Semakin sombong seseorang semakin ia membenci kesombongan dalam diri orang lain.”
(C. S. Lewis)
Suatu
malam, seorang mahasiswa berkata kepada saya dalam pergumulannya, “Pak,
saya sedang bergumul dengan diri saya. Saya merasa sombong dan ini
mengganggu saya.” Melihat ekspresi wajahnya yang serius dan tulus, saya
menjawabnya, “Tenang saja, kesombonganmu jelas masih dalam taraf yang
belum puncak. Pernyataanmu bahwa kamu merasa sombong menunjukkan bahwa
kamu tidak benar-benar sombong.” Setelah itu kami berbicara panjang
lebar dan saling mendukung.
Komentar
saya di atas mencerminkan sebuah keyakinan bahwa mereka yang sombong
total biasanya tidak menyadari kesombongannya dan mereka yang mampu
mengakui kesombongannya, masih memiliki sisa-sisa kerendahan hati.. Hal
ini seperti, orang yang agak mabuk sadar bahwa ia agak mabuk, namun
orang yang mabuk total tidak sadar bahwa ia mabuk; atau orang yang
setengah tertidur sadar bahwa ia setengah tertidur, tetapi mereka yang
tertidur lelap tidak sadar bahwa ia sedang tertidur.
Nah,
dalam pergulatan melawan dosa yang sama sekali tidak pantas ini, saya
tiba pada karya C. S. Lewis, seorang profesor Cambridge yang menulis
buku Mere Christianity dan banyak novel seperti The Chronicles of
Narnia.
Jika
C. S. Lewis ditanya tentang ciri-ciri orang sombong, jelas sekali ia
akan menjawab: “orang sombong adalah orang yang sering kali tersinggung
dengan orang sombong lainnya.” Kalimat itu bukan kata-katanya, tetapi
rangkuman dari pemahamannya. Dalam bahasanya sendiri, ia berkata bahwa
kesombongan adalah dosa yang “semakin kita memilikinya semakin kita
tidak menyukainya dalam diri orang lain.” Pendeknya, ketika Anda tidak
terima, jengkel, dan tersinggung dengan orang yang Anda anggap sombong,
sangat mungkin kesombongan dalam diri Anda sedang memberontak melawan
kesombongan orang lain. “Emangnya dia aja yang bisa, gua juga bisa
tahu!” Begitulah ketika orang sombong tersinggung dengan orang sombong
lainnya.
Kebenarannya
adalah, semakin sering Anda tersinggung dan tidak menyukai orang-orang
yang Anda anggap sombong, semakin mungkin bahwa Anda sendiri adalah
orang yang sombong.
Pertama-tama,
saya kurang sreg dengan pemikiran C. S. Lewis ini. Bukankah mungkin,
seseorang yang pandai menganalisa orang lain (misalnya: psikolog) mampu
menemukan kesombongan dalam diri orang lain tanpa terjatuh dalam
kesombongan yang sama? Begitu kata saya dalam hati (dan mungkin juga
Anda!). Namun, jelaslah bahwa hal ini adalah kesalahpahaman terhadap
pemikiran C. S. Lewis. Ia tidak berkata bahwa orang yang sombong adalah
orang yang mampu menemukan kesombongan orang lain, tetapi bahwa orang
yang sombong adalah orang yang tidak menyukai kesombongan dalam diri
orang lain. Selanjutnya, yang harus diingat adalah bahwa motivasi
ketidaksukaan (dalam pemikiran C.. S. Lewis) ini bukanlah karena kita
tahu bahwa kesombongan itu ditentang Allah, melainkan karena kita merasa
tersinggung, marah dan tidak suka ketika ada orang yang menyombongkan
diri di hadapan kita. Nah, kesombongan jenis inilah yang dibicarakan C.
S. Lewis.
Pemikiran
C. S. Lewis di atas sungguh sederhana sekaligus mendalam karena ia
telah berhasil menemukan ciri-ciri orang yang sombong, bahkan mungkin
ciri yang terutama. Selanjutnya C. S. Lewis berkata, “Kesombongan pada
hakikatnya bersifat kompetitif – naturnya itu sendiri bersifat
kompetitif – sementara kejahatan-kejahatan lainnya, bisa dikatakan hanya
berkompetisi secara kebetulan.” Ia menjelaskan, “Kesombongan tidak
merasa senang karena memiliki sesuatu, tetapi hanya jika ia memiliki
sesuatu yang melebihi apa yang dimiliki oleh orang di sebelahnya.”
Kesombongan selalu membuat orang kompetitif terhadap orang lain.
Kesombongan eksis dalam konteks perbandingan dengan orang lain dan bukan
kesendirian.
Selanjutnya,
jika Anda mengamati semua dosa yang lain, misalnya orang yang suka
korupsi waktu kerja atau uang perusahaan, pornografi, pornoaksi,
mabuk-mabukan, mencuri, bahkan membunuh, Anda akan menemukan bahwa
mereka yang melakukannya tidak selalu keberatan jika orang lain juga
melakukannya. Itulah sebabnya kita dapat menemukan sekelompok mahasiswa
tukang contek yang saling bersahabat, “persekutuan” para pemabuk,
kumpulan orang-orang cabul, kelompok para pencuri waktu kerja, dan geng
para pembunuh. Dalam bahasa C. S. Lewis, “Kejahatan-kejahatan lainnya
terkadang bisa mempersatukan orang: Anda mungkin menemukan persekutuan
dan senda gurau dan persahabatan yang erat di engah orang-orang yang
mabuk dan tidak suci.”
Namun
demikian, kesombongan adalah dosa yang amat berbeda. Kesombongan selalu
berarti perseteruan- kesombongan adalah perseteruan. Dan bukan hanya
perseteruan antara manusia dengan manusia, tetapi perseteruan dengan
Allah. Singkatnya, dalam hikmat C. S. Lewis, dosa-dosa yang lain masih
bisa mempersatukan orang-orang, tetapi kesombongan selalu berarti
perseteruan, pertikaian, dan konflik yang tidak dengan orang lain. Oleh
karena itu, jika ada suatu konflik tak berkesudahan, baik itu di dalam
persahabatan, pernikahan, pekerjaan, C. S. Lewis akan menebak, pasti ada
orang yang sombong di dalamnya, sehingga begitu sulitnya hal itu
diselesaikan. Tentu saja semakin sulit lagi, jika pihak yang sombong
selalu berpikir bahwa pihak lawanlah yang sombong. Ini benar-benar
lingkaran setan! Tidak ada yang bisa menyelesaikan masalah seperti ini
kecuali Tuhan.
Akhirnya,
terhadap kesombongan ini C. S. Lewis ingin memberikan peringatan yang
tegas, “Selama Anda menjadi orang yang sombong Anda tidak bisa mengenal
Allah” Mengapa? “Sebab kesombongan adalah kanker spiritual: yang
memakan habis setiap kemungkinan dari kasih, atau perasaan cukup, atau
bahkan akal sehat.” Pemikiran C. S. Lewis hanyalah gema cerdas dari
kebenaran Alkitab yang berkata, “Kasih itu sabar; kasih itu murah hati;
ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong” (1Kor.
13:4). C. S. Lewis menutup pembahasannya dengan menunjukkan jalan menuju
kerendahan hati. Ia berkata, “Langkah pertama adalah menyadari bahwa
Anda adalah orang yang sombong. Dan langkah itu sekaligus merupakan
langkah yang cukup besar. Setidaknya, tidak ada sesuatupun yang bisa
dilakukan sebelumnya. Jika Anda berpikir bahwa Anda tidak tinggi hati,
itu berarti Anda memang tinggi hati”
Gbu all...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar